Oleh R. Kristiawan
Pada suatu senja cerah di sebuah warung makan tepi selokan Mataram Yogyakarta, segerombolan anak muda tampak ribut mengobrol. Dandanan mereka seperti layaknya anak metropolis. Yang cewek berkaos ketat lengan mepet hingga seluruh ubuhnya tampak penuh sementara para cowoknya pakai jeans dengan berbagai asesori. Sambil ngobrol, mereka menikmati ayam goreng. Warung itu secara geografis tidak istimewa. Namun penampilan warna telah membedakannya dengan warung makan Yogya pada umumnya. Dinding warung itu dicat kuning berbaur merah. Lampunya juga terang benderang seperti mall. Di depan warung itu terpampang board cukup mencolok: Kentuku Fried Chicken.
Beberapa waktu
terakhir, Yogyakarta disemarakkan dengan hadirnya rumah makan (tepatnya warung
makan) khusus ayam goreng. Namanya lucu-lucu dan bermacam-macam. Ada Yogya
Fried Chicken, Kentuku Fried Chicken, dll Warung itu bisa hadir di
mana-mana. Bisa di tepi jalan besar atau juga menjorok masuk kampung. Kalau diamati,
secara simbolik perilaku mereka mengacu pada satu tema yaitu franchise ayam
goreng Amerika semacam McDonald atau Kentucky Fried Chicken. Lihat saja
bagaimana mereka memilih nama warung yang cenderung memlesetkan perusahaan
asing sampai bagaimana mereka mendesain tempat dan memilih warna. Warna warung
biasanya warna cerah didominasi merah, biru cerah dan kuning : warna Amerika.
Tampilan ayam gorengnya sepintas sama dengan ayam goreng impor. Daging ayam itu
digoreng garing dengan selimut tepung.
Kira-kira delapan
tahun lalu, saat masyarakat terkena demam sepeda gunung ala Amerika, orang
Yogya malah ramai-ramai berburu sepeda unta dari Prambanan dan Gunung Kidul
kemudian menyulapnya menjadi sepeda ‘kota’ berwarna metalik cerah seperti
sepeda gunung. Biasanya pada malam Minggu, rombongan sepeda itu akan memenuhi
jalanan utama Yogyakarta. Tak ketinggalan para pengendaranya menyertakan
seragam kain sorjan lurik Pasar Beringharjo dan helm mandor jaman
Belanda. Dengan penuh percaya diri mereka membunyikan bel sepanjang jalan
sambil tertawa ramai-ramai. Dari dua fakta menarik itu, saya sejenak
menjadi tidak mengidolakan Gramsci dan bertanya: Benarkah hegemoni ada? Saat
membaca Selection from the Prisoner’s Notebooks (1979) tiga tahun lalu,
saya terkesima pada halaman 21 saat Antonio Gramsci mengulas dengan terang
bagaimana hegemoni bisa terjadi saat instrumen koersif dan instrumen ideologis
sudah dipegang penguasa. Apalagi saat Joseph V. Femia lewat Gramsci’s
Political Thought (1981) semakin memperjelas pikiran Gramsci yang agak
rumit itu, saya menjadi semakin terkesan pada konsep aktivis partai komunis
asal Sardinia itu. Ditambah lagi saat beberapa pemikir cultural studies
mencangkok ide hegemoni dalam konteks kebudayaan modern dalam relasinya dengan
kapitalisme, konsep hegemoni yang semula lebih condong pada konteks politik
militeristis (Italia) menjadi lebih kaya dan tajam setelah
dikontekstualisasikan dengan kuasa modal. Salah satu inti pemikiran Gramsci
adalah terciptanya ketaatan moral, intelektual dan afektif karena dikehendaki
oleh kekuatan struktur ekonomi dan politik. Dalam konteks peradaban modern,
kebudayaan dominan dengan demikian merupakan hasil penaklukan kapitalisme
terhadap aktivitas kebudayaan manusia. Bahkan jika dibandingkan dengan
aparat modernisme yang lain—militer, birokrasi, dan borjuasi lokal—kapitalisme
tetap menjadi ujung tombaknya. Gramsci melihat secara kritis bahwa
kekuatan struktur ekonomi dan politik itu akan semakin meminggirkan ekspresi
yang tidak berada di dalam jaringan penaklukan. The winner takes all.
Dalam konteks
hubungan antar negara, konsep Gramsci itu mempengaruhi munculnya teori
imperialisme budaya seperti yang pernah dilontarkan ahli komunikasi Belanda
Cees Hamelink. Melalui jembatan pembangunanisme, Barat telah melakukan penetrasi
besar-besaran dalam kehidupan ekonomi negara dunia berkembang hingga berujung
pada globalisasi saat ini. Relasi dalam globalisasi adalah manifestasi ekspansi
ekonomi transnasional dalam semangat dasar kapitalisme. Kepentingannya beragam
mulai dari penaklukan ekonomi sampai ekspanasi pasar. Karena ekspansi ekonomi
dan politik inheren dengan ekspansi kebudayaan, maka tikda bisa tidak
kebudayaan akan cenderung mendukung kebijakan ekonomi dan politik itu. Ambil
contoh bagaimana simbol-simbol kemakmuran seperti handphone dan McDonald telah
menghinggapi sebagian besar kelas perilaku menengah Asia Tenggara pertengahan
90-an seiring dengan orientasi pertumbuhan ekonomi mashab neoklasik seperti
yang pernah diulas oleh Richard Robison dalam New Rich in Asia (1994).
Selain itu muncul pula gejala dimana dipakainya secara besar-besaran
simbol-simbol kebudayaan negara maju karena mitos kemakmuran cenderung membuat
orang melakukan aktivitas kebudayaan menurut citra kemakmuran itu. Kadang tidak
rasional secara material. Ayam goreng McDonald menjadi laris manis dan punya
image tinggi bukan karena substansi material yaitu kelezatan ayamnya tetapi
terlebih karena simbol kelas McDonald itu membuat konsumen mengidentifikasi
dirinya sebagai bagian dari golongan kelas atas pada saat mereka mengkonsumsi
ayam itu. Bukan lagi konsumsi material yang penting namun konsumsi simbol yang
berhubungan dengan mitos identitas dan kenyamanan kelaslah yang menjadi
pertimbangan konsumsi. Padahal, lihat saja betapa tidak kayanya bumbu ayam
McDonald dibanding Ny. Suharti. Paul Ricoeur bilang, selera dan estetika itu
ideologis. Parameter tentang keindahan dan kelezatan cenderung punya sentimen
mendukung kelas dominan.
Dalam cara pandang
hegemonian, kebudayaan global akan bersifat tunggal karena watak kapitalisme
yang monolitik. Seluruh ekspresi kebudayaan termasuk ekspresi simboliknya akan
mengacu pada ekspresi dominan dalam nama pasar. Tidak ada celah lagi untuk
menjadi independen secara simbolik karena rekayasa elitis yang terlanjur disepakati
oleh moralitas, kognisi, dan afeksi masyarakat bawah. Padahal ketiga faktor
inilah yang terpenting dalam memproduksi simbol. Kebudayaan lokal yang
tidak marketable akan terpinggirkan karena desakan kultur asing yang
sangat profit oriented. Pertanyaan kritis lalu muncul. Seberapa jauhkah
masyarakat luas (crowd) akan menyerahkan identitasnya pada kekuasaan
dominan? Apakah masyarakat dengan begitu mudahnya akan bertindak sangat pasif
sehingga tidak mampu lagi melakukan resistensi? Dalam kaca mata Gramsci,
penguasa adalah sejenis makhluk super jenius yang dengan segala tipu daya
bisa mematikan kesadaran resistensi masyarakat. Dalam kondisi hegemoni, orang
tidak akan punya kekuatan kritis lagi. Semuanya serba pesimis. Apakah
sesederhana itu? Soeharto pada pertengahan masa orba sampai menjelang ajalnya
tampil sebagai penguasa yang ditakuti. Ia—seperti halnya Lee Kuan Yew—punya
prinsip lebih baik ditakuti daripada dicintai. Siapa orang yang berani
terang-terangan menentang Soeharto waktu itu? Dalam tataran politik praktis
mungkin tidak ada. Namun dalam ranah kultur keseharian, apakah Soeharto
benar-benar absolut? Jawabnya tidak. Di tingkat bawah, orang sudah muak dan
kemuakan itu muncul dalam berbagai bentuk resistensi. Resistensi yang paling
sederhana adalah humor. Subversi kecil-kecilan itu paling tidak akan
memunculkan rasa bahwa mereka tidak terkuasai. Kita bisa melihat berapa
banyaknya humor-humor politik yang hidup subur di masyarakat dan cepat
menyebar. Semuanya bernada kritis pada penguasa. Kondisi ini mirip Rusia pada
masa Kruschev. Kalau ekspresi politik resmi tidak bisa disalurkan, jalur
kultural siap menampungnya. Dalam banyak kisah sejarah terbukti, hegemoni tidak
pernah ada. Gramsci dan raja Mataram sama gagalnya. Kekuasaan yang bulat utuh
hanyalah ilusi Hamengkubuwono yang hanya bisa mengatupkan kedua ibu
jarinya—saat posisi resmi—membentuk bulatan kosong sebagai lambang dunia yang
bisa ia pegang. Buktinya, Mataram tidak pernah benar-benar menguasai seluruh
dunia. Soeharto pun tidak pernah menelan Indonesia secara bulat-bulat.
Masih ada serpihan resisten di sana-sini bahkan saat kekuasaan tampil dengan
pongah.
Dalam dunia
kebudayaan populer perdebatannya semakin ramai. Kalau diambil
asumsi bahwa globalisasi—wajah lain dari kapitalisme internasional—telah
melakukan penetrasi kultural ke segala mata angin dunia, maka seharusnya
ekspresi kebudayaan dunia akan bermuka tunggal dalam satu kontrol. Tapi rumus
hegemonian itu tidak sepenuhnya bekerja dengan baik. Cara padang ofensi versus resistensi terasa
terlalu sederhana apabila dilihat dinamika budaya yang tidak sefrontal
itu. Saat musik rap Amerika menjalar ke seluruh negeri, orang Indonesia
khawatir musik domestik akan hilang. Namun apa yang terjadi. Tidak dalam rangka
menentang rap, Iwa K. malah melakukan terobosan dengan membuat rap dalam lirik
bahasa Indonesia. Begitu juga saat banyak orang Jawa khawatir pada serbuan
musik pop, Jadug Ferianto dan Manthous malah membuat gamelan dalam tangga nada
diatonis, tidak lagi pentatonis. Dalam struktur diatonis, lagu apapun dari
negeri manapun akan bisa dibawakan dalam timbre gamelan yang khas Jawa.
Belakangan kedua tokoh Yogya itu menjadi tersohor karena mampu mengahdirkan
musik pop Jawa yang sinkretik dengan Barat. Eddy Kempot dari Solo yang punya paradigma
serupa bahkan tersohor di Suriname. Kasus ayam goreng Yogya, sepeda onthel,
kaos oblong Yogya juga ada dalam kerangka alur yang sama. Orang-orang itu
bukanlah tokoh revolusioner dalam impian Gramsci yang akan menentang segala
bentuk ofensi. Mereka hanya memadukan segala unsur, dan itulah realitas politik
kebudayaan pada umumnya. Ekspresi kebudayaan tidak bisa disederhanakan ke dalam
kotak apa pun termasuk kelas. Bahwa perspektif kelas bisa membantu melakukan
analisis itu benar. Namun menggantungkan analisis hanya pada satu instrumen
kelas saja akan sangat reduksionis dan dangkal. Kadang ekspresi tidak butuh
ideologi. Estetika bisa saja menjadi determinan.
Nah, lalu di
manakah posisi media dalam konstelasi ini ? Menurut paradigma hegemonian, media
massa adalah alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan. Media massa
seperti halnya lembaga sosial lain seperti sekolah dan rumah sakit dipandang
sebagai sarana ampuh dalam mereproduksi dan merawat ketaatan publik. Benarkah
media massa hanya bersifat satu arah melayani kepentingan ekonomi ? Tidak.
Bahkan istilah media mungkin perlu digeser menjadi mediasi karena di sanalah
segala macam simbol dari berbagai latar identitas budaya bisa saling bertemu.
Hasil interaksi antar simbol itu akan bersintesis dan menemukan bentuk ekspresi
baru. Bentuk baru itu ada dalam spektrum yang amat luas dan tidak melulu
hegemonik. Contoh-contoh di atas adalah buktinya. Mediasi terasa lebih kaya dan
jernih dibanding hegemoni. Namun perlu dicatat, seluruh ekspresi itu tidak bisa
lepas dari jual beli.
Newsletter
KUNCI No. 8, September 2000
tepatji caraT karena disebutji sumbernya meliputi pengarang dan media penerbitan.
BalasHapusteruslah berbagi
Harapan bangsa adalah berdiri di kaki kita sendiri,
Hapusnamun persepsi kita beda - beda, Hegemoni mungkin ada positifnya juga, sebagai contoh atau acauan saja untuk lebih baik...
apalagi Indonesia adalah negara yang berkembang butuh contoh, dari negara lain.
namun saya mungkin tidak terlalu memahami makna hegemoni itu sendiri...
karena dalam hati kecil saya masih bertanya Indonesia itu apa dan siapa yang memilikinya...
''Mohon di luruskan''....
yang sy komentari cukup komentarnya pak Jamaluddin.
BalasHapusnegara ini milik rakyat (merujuk pada sistem pemerintahan demokrasi)
negara ini milik pemerintah (secara lahiriah) karena mereka yang bertanggungjawab dan berhak untuk mengendalikan kebijakan.
negara ini milik kaum kapitalisme, kolonialisme dan antek2nya karena mereka mampu menundukkan bangsa ini atas sistem ekonomi dan politiknya